Surat
Untuk Rembulan
Sembari
fajar menyeruak mimpi,
ku
intip mentari pagi nan jauh indah dibungkus awan,
kehangatan sinarnya menusuk hati.
Semalam
larut dikejar-kejar kengerian yang singgah di tidur lelap.
Butiran
mutiara jingga berkilauan dipelupuk mata nan jatuh dikepak sayap nyanyian
burung gelatik,
menari gembira di dahan dan ranting.
Seiring
mentari kian meninggi,
beratlah
pula kaki melangkah,
mencari
kedamaian sekian masa menghilang,
bertemankan nyanyian penat dan sedih.
Aku
berjalan terus,
tengok kiri kanan,
lambaikan
tangan di pematang sawah,
menggoda petani mencangkul tanah padi dan
palawija nak bercambah.
Aku
menggoda sembari ketawa
“Hati-hatilah pak tua, usah kau makan tu
lumpur!!!”
“Tidakkah
kau lihat anak muda, aku cuma mandi”.
Jauhlah
kaki melangkah,
kubalikan
badan, ku pandang asap mengepul,
nampak atap perkampungan diman dipisah sawah
dan padang.
“Tiada
terasa jalan beraspal dihadapan”
gerutu benak jauh di dasar mendalam.
Jalan
pedesaan ramai dihadapan,
kesan-kemari
orang pejalan.
Ku
termenung dimakan peluh membasahi punggung,
ku
sandarkan tubuh di bangku-bangku rindang pohon flamboyant.
Ku
pandang padang ilalang,
ku tengok hamparan Lumpur,
seolah
beratus semut sedang asyik bermain.
Nyanyian
serulingpun mengalun syahdu
semerdu buluh perindu nyanyikan lagi
bertemankan kepiluan
“Oh anak gembala”
ku
berbisik pada sepoy angin yang lewat.
Entah
lebih kurang sejam,
ku
bangun walau penuh penat,
kerasan
rupanya berlamun menggoda angan.
Ku
tiupkan nafas panjang,
tapi
belenggu tak mau hilang.
Penuh
sapa dan senyum berjalan dihimpit keramaian,
sementara
mentari membakar hati,
ku
tengok kesana mata pedih terasa dan gelap penglihatan.
Begitu
ramainya si miskin dan si kaya bertukar pendapatan desa yang makmur.
Ku
singgahkan kaki di muka surau,
tapi
rupanya perut tiada mengenal waktu,
yang pagi berisikan air putih.
Ku
berjalan ke jongko makanan,
ku
tengok recehan di saku kemeja,
sisa kemarin pemberian teman.
Di
pinggir telinga adzan bergema,
ku
dekatkan diri dengan yang menciptakan,
kerna
di hadapan dia-Lah semua derajat insan sama,
tiada
si miskin dan si kaya
hanyalah
yang taat dan yang patuh
teristimewa baginya.
Aku
melamun di babi surau,
menatap pedagang berlalu lalang.
Sembari
asyik pandang tak jemu,
ku
pejamkan mata dan
di
nina bobokan perut kenyang.
Terdengar
lepas sendah dan tawa
bagaikan
burung beterbang yang bebas kesana-kemari
tanpa
rintangan.
Telinga
pun berbisik mata,
terlihat
lunglai kerumunan rembulan di hadapan,
ku
sapa main-main “Pulang non”.
Semuanya
tengok ke wajah,
tapi tiada senyuman.
Ku
pura-pura ketiduran.
Canda
mereka terdengar lagi,
yang
tadi sempat lenyap di goda mata si pungguk.
Tak
lama adzan bergema lagi.
“Ya
tuhan begitu cepatnya waktu tiada kembali”.
“Mungkinkah
alam semesta ini dekatkan kehancuran”.
Selesai
berdo’a ku pulangkan pikiran,
bersama jingga mentari ku terbangkan angan,
ku ukir kata-kata nan indah di langit biru
yang nampak bercahaya kemuning.
Tak
lama memerah merona,
menyambut
mimpi-mimpi insan yang kelelahan.
Semalam
lena tak mau menyapa,
tidur pun dalam hitungan menit.
Terlalau
pagi bermandikan kedinginan,
mengisi
surau yang hampir runtuh.
Jalan
kemarin mengukir memori,
yang
tak terlupa, entah sendu,
entah
indah.
Hari
ini ku baca lagi memori
yang tertanam berbaur dengan orang lain
di
pematang yang basah.
Termanggulah
sejenak di padang ilalang,
dimana
ku intip mentari
yang
gembira di pucuk timur.
Waktu
baru nampak merahnya,
celana
pun basahkan embun.
Ku
hampiri pohon besar sedikit,
bersandarlah
di dahan paling bawah.
“Masa
mudaku
haruskah
ku habiskan begini
atau seperti orang yang mengadu nasib????”
“Tinggalah
aku di kesepian kampung,
teman seumurku pergi mencari bekal”.
“Tapi
aku bangga,
mampu
mengutarakan dunia yang penuh kerakusan,
kesombongan
pengisinya”.
“Cumalah
siapa yang akan mengerti dan peduli terhadapku,
aku
tiada nama di mata dunia,
aku
tak punya gelar di mata pujangga”
“Tapi
aku tetaplah aku
pecinta kertas dan pena,
mengukir
keindahan dan kesepian”.Gerutu lamunan.
Tersadar
embun teteskan di pipi,
di injaknya ranting pohon,
gelatik bersiul,
terpandang sekeliling
dan terang mentari rupanya cerah langitnya.
Petani
pun mulai berdatangan lewat di bawah dahan sandaran,
tapi
tiada belas memerhati.
Aku
tersenyum dan meloncat jatuh.
Setengah
berlari bermandikan peluh.
Ku
sandarkan lagi badan di bangku,
rindangan pohon kemarin,
di
tepi jalan pedesaan ini bermula ku lihat rembulan.
Ku
tarik nafas dalam-dalam
ku simpan udara ketenangan,
dan
tak begitu lama,
satu
persatu kerumunan lewat menghadap.
Ku
diam,
takut
makian kemarin terdengar lagi.
Ku
pandang satu demi dua,
dan
ku lempar senyuman.
Terpamir
pandang seraut wajah yang begitu lugu
dan mempesona,
wajah
bergambar dewasa
dan
di hiasi tatapan tajam bermatakan teduh, paras ayu bernadakan lugu.
Ku
sapa senyum anggukan,
Terbesitlah
manisnya madu senyum terlontar.
Ku
pandang mata tiada berkedip,
bercahayanya
rembulan di kejauhan,
walau
di tengah kerumunan.
Sekilas
jeling
bertabur senyum manisnya madu-madu harapan
menusuk jantung
berdegup
kencang.
Ku
hampiri surau menyepi,
agak longgar pejalan kaki di hari ini,
sepintas waktu menjelir penuh kenangan,
Pengharapan,
Kedamaian,
Kebahagiaan,
Kebimbangan,
Kesedihan
dan banyak pula
tiada tersuratkan.
Entah
sesaat ketiduran di badan surau,
terbangunkan azan perut keroncongan,
namun uang tiada ku pinang.
Sebulan
setengah waktu meloncat memupuk harapan,
mengharumkan bunga yang bermekaran
di
lubuk hati terdalam.
Entah
pucuk di cita ulam tiba
ataukah bertepuk sebelah tangan.
Di
setiap datangnya hari libur,
ku
indahkan mentari pagi
yang
memancar penuh pesona.
Meresap
ke hati..
Memberi
semangat kahangatan tersendiri.
Ku
hitung bintang berkelip manja,
terbayang senyuman, kerlingan insan idaman.
Di
peluk kokokan ayam,
tiada tidur semalam asyik di buai lamunan.
Pagi begitu indah,
langit pun bercahaya,
dan
mentari pun bersinar manja.
Terbangunlah
di sapa detik jam sore,
menghampiri sore cemerlang,
dimana
muda-mudi berpasangan,
mencari kenangan,
untuk
mengukir masa hadapan denga cinta
dan
kasih sayang
yang
tiada terpisahkan.
Dan
kenangan;
biar
terukir semanis madu
seindah
pelangi senja;
tiada
indah di kenangkan,
Cuma
hancurkan perasaan
yang hancur
berkeping-keping.
Ku
melangkah
di
dalam kasih sayang orang,
ku berjalan
diantara
kemesraan orang,
ku bernyanyi
diantara
janji-janji manis mereka,
ku
melirik
di dalam kerlingan mereka,
ku memandang
di
pelukan mesra.
Terpagut
senja sedetik,
dimana
pandangan terpaut rembulan
yang
bersinar disinari lembayung,
Mengerling
manja
tersenyum
simpuh.
Ku
tatap senyuman itu tiada hilang.
Terasa
magrib buyarkan mimpi,
surau tua debarkan hati.
Semalam
rembulan menghilang
walau
langit dan bintang
keresahan kesepian
Semakin
dibuai angan.
Pagi
indah nampak di hadapan,
semalam tadi rembulan menghilang,
walau
kantuk menutup mata,
ku melangkah,
tunaikan hasrat
dimana
rembulan ku tatap rindu,
ku
sapa syahdu di senja nanti
ku
ukir janji.