skripsi ilmu tajwid bab II



BAB II
LANDASAN TEORI PENELITIAN

A.  Deskripsi Teori
1.    Pengertian Pengajaran
Proses pembelajaran dialami setiap orang sepanjang hayat serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran merupakan interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang lebih baik. Dalam pembelajaran tugas guru yang paling utama adalah mengkondisikan lingkungan agar menunjang terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Pada dasarnya Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik. Di dalam pembelajaran dapat berlangsung dengan atau tanpa hadirnya guru.
Dalam proses belajar terdapat komponen pendukung yang dapat mendorong tercapainya tujuan utama dari proses pembelajaran yang ditandai dengan adanya perubahan perilaku. Proses belajar dapat terjadi baik secara alamiah maupun direkayasa. Proses balajar secara alamiah biasanya terjadi pada kegiatan yang umumya dilakukan oleh setiap orang dan kegiatan belajar ini tidak direncanakan. Sedangkan proses belajar yang direkayasa merupakan proses belajar yang memiliki sistematika yang jelas dan telah direncanakan sebelumnya guna mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam proses ini metode yang digunakan disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini proses belajar yang direkayasa yang lebih memungkinkan tercapainya perubahan perilaku karena ada rancangan yang berisi metode dan alat pendukung.
Dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran, kegiatan pembelajaran harus dirancang untuk memberikan pengalaman belajar pada peserta didik. Pengalaman belajar yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan pembelajaran yang bervariasi dan berpusat pada peserta didik. Oleh karena itu kegiatan pembelajaran disusun untuk memberikan bantuan kepada pengajar, khususnya siswa agar dapat melaksanakan proses pembelajaran secara professional. Kegiatan pembelajaran memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa secara berurutan untuk mencapai kompetensi dasar. Penentuan urutan kegiatan pembelajaran harus sesuai dengan kirarki konsep materi pembelajaran, dan rumusan pernyataan dalam kegiatan pembelajaran minimal mengandung dua unsur penciri yang mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar siswa yaitu kegiatan siswa dan materi.[6]
Pengajaran ialah sesuatu tugasan dan aktiviti yang diusahakan bersama oleh guru dan muridnya. Pengajaran ini adalah dirancangkan guru secara sisitematik dan teliti untuk melaksanakannya dengan kaedah dan teknik mengajar yang sesuai, membimbing, menggalak dan memotivasikan murid supaya mengambil inisiatif untuk belajar, demi memperolehi ilmu pengetahuan dan menguasai kemahiran yang diperlukan.
Umumnya “Pembelajaran merupakan proses memperolehi ilmu pengetahuan atau kemahiran”. Mengikut Robert M. Gagne (1970) dalam The Condition of Learning, pembelajaran merupakan “perubahan tingkahlaku atau kebolehan seseorang yang dapat dikekalkan, tidak termasuk perubahan yang disebabkan proses pertumbuhan”. Mengikut Woolfolk (1980) dalam Educational Psychology for Teachers, pembelajaran dilihat sebagai perubahan dalaman yang berlaku kepada seseorang dengan membentuk perkaitan yang baru, atau sebagai potensi yang sanggup menghasilkan tindak balas yang baru.[7]
2.    Pengertian Ilmu Tajwid
Kata ilmu secara etimologi berarti tahu atau pengetahuan. Kata ilmu berasal dari bahasa Arab “Alima-ya’lamu, dan science dari bahasa Latin Scio, scrie artinya to know. Sinonim yang paling akurat dalam bahasa Yunani adalah epitisteme. Sedangkan secara terminology ilmu atau science adalah semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-syarat tertentu. Menurut ensiklopedia pengertian ilmu adalah “Ilmu pengetahuan yaitu suatu system dari pelbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengetahuan tertentu, yang disusun sedemikian rupa menurut asas-asas tertentu, sehingga menjadi kesatuan suatu sistem dari pelbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode tertentu (induksi, deduksi). Dari berbagai definisi di atas kiranya dapat dipahami bahwa ilmu adalah sekumpulan pengetahuan yang diorganisir secara sistematis berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang kemudian dihubungkan berdasarkan pemikiran yang cermat dan teliti dan dapat dipertanggungjawabkan dengan berdasarkan metode.[8]
Sedangkan tajwid menurut bahasa, artinya membaguskan. Dan menurut istilah, tajwid adalah membaguskan bacaan Al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tajwid yang berlaku. Imam Ali bin Tholib mengatakan bahwa Tajwid adalah mengeluarkan setiap huruf dari makhrojnya dan memberikan hak setiap huruf (yaitu sifat yang melekat pada huruf tersebut seperti qolqolah, Hams, dll) dan mustahaq huruf (yaitu sifat-sifat huruf  yang terjadi karena sebab-sebab tertentu, seperti izhar, idghom, dll.) Adapun pengertian ilmu tajwid menurut istilah adalah ilmu yang membahas tatacara membaca Al-Qur’an.
Ada pendapat lain yang mengatakan tajwid menurut bahasa adalah tahsin: memperbaiki atau mendatangkan bacaan dengan baik. Sedangkan menurut istilah adalah Ilmu yang mempelajari cara mengucapkan huruf-huruf Al-Qur’an tentang tebal dan tipisnya, panjang dan pendeknya, sifat-sifatnya, dan hukum membaca huruf Hijaiyah bila bertemu dengan huruf yang lain. Sehingga menjadi suatu bacaan yang baik. Pengertian lain dari ilmu tajwid ialah menyampaikan dengan sebaik-baiknya dan sempurna dari tiap-tiap bacaan ayat Al-Qur’an.
a.    Kegunaan Ilmu Tajwid
Kegunaan dari mempelajari Ilmu Tajwid adalah:
1)   Agar tidak ada kesalahan dalam membaca ayat-ayat Allah (Al-Qur’an);
2)   Agar aya-ayat yang kita baca sesuai dengan ketentuan-ketentuan bahasa Arab, baik cara pengucapan huruf, sifat-sifat huruf dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh Ulama Ahli Qurro.
b.    Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid
Mempelajari tajwid sebagai suatu ilmu pengetahuan hukumnya Fardhu Kifayah yaitu jika sudah ada yang mempelajari istilah-istilah dan teori ilmu tajwid maka kewajiban itu gugur bagi yang lainnya. Adapun mempraktekan ilmu tajwid dalam membaca Al-Qur’an adalah Fardhu ‘Ain, yaitu kewajiban setiap umat Islam, dengan kata lain menggunakan atau mengamalkan Ilmu tajwid adalah merupakan suatu keharusan, maka barang siapa yang tidak memperbaiaki bacaan Al-Qur a’nya dia termasuk berdosa. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Muzammil ayat 4:
÷rr& ÷ŠÎ Ïmøn=tã È@Ïo?uur tb#uäöà)ø9$# ¸xÏ?ös?۝
Artinya: Atau lebih dari seperdua itu. dan Bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.[9]

Karena mempraktekan tajwid dalam membaca Al-Qur’an adalah wajib sedang mempelajari istilah-istilahnya adalah fardhu kifayah.
Sedangkan menurut Ibnu Katsir Tartil artinya membaca Al-Qur’an dengan perlahan-lahan dan hati-hati karena itu akan membantu pemahaman dan tadabbur.
Para ulama menyatakan bahwa hukum bagi mempelajari tajwid itu adalah fardhu kifayah tetapi mengamalkan tajwid ketika membaca Al-Qur’an adalah fardhu 'ain atau wajib kepada lelaki dan perempuan yang mukallaf atau dewasa.
Dengan demikian Tajwid adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk mengetahui kaidah atau tatacara membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar. Jadi ilmu tajwid adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara membunyikan atau mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur'an maupun bukan.
Fungsinya adalah untuk menjaga lidah dari kesalahan dalam membaca Al-Qur'an. Karena kesalahan dalam membaca Al-Qur'an dapat membuat perubahan arti dari kata atau kalimat yang dibaca. Hukum memakainya dalam membaca Al-Qur'an wajib bagi siapa saja yang sudah tahu tentang ilmu Tajwid ini. Sedangkan hukum belajar Tajwid itu sendiri Fardhu Kifayah.[10]
Adapun dalil-dalil yang mewajibkan membaca Al-Qur’an dengan tajwid antara lain:
1)   Allah SWT berfirman yang artinya "Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan/tartil (bertajwid)" (QS: Al-Muzzammil; 4. Ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca Al-Qur’an yang diturunkan kepadaNya dengan tartil, yaitu memperindah pengucapan setiap huruf-hurufnya (bertajwid).
2)   dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah R.A. (istri Nabi SAW), ketika beliau ditanya tentang bagaimana bacaan dan shalat  Rasulullah SAW, maka beliau menjawab: "Ketahuilah bahwa Baginda SAW shalat   kemudian tidur yang lamanya sama seperti ketika beliau shalat   tadi, kemudian Baginda kembali shalat  yang lamanya sama seperti ketika beliau tidur tadi, kemudian tidur lagi yang lamanya sama seperti ketika beliau shalat tadi hingga menjelang shubuh. Kemudian dia (Ummu Salamah) mencontohkan cara bacaan Rasulullah SAW dengan menunjukkan (satu) bacaan yang menjelaskan (ucapan) huruf-hurufnya satu persatu." (Hadits 2847 Jamik At-Tirmizi).
3)   Dalil ijma ulama. Adalah telah sepakat para ulama dari zaman Rasulullah sampai zaman sekarang, bahwa membaca Al-Qur'an dengan bertajwid adalah sesuatu yang fardhu dan wajib.
4)   ada juga pengertian dan adab dalam membaca Al-Qur’an diantaranya adalah Istiadzah dan Basmalah. Istiadzah: Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk, dibaca dengan adab sebagaiberikut:
a)    Dibaca pelan ketika tilawah dengan pelan.
b)   Dibaca pelan ketika sendirian meskipun tilawah bersuara.
c)    Dibaca keras bila tilawah keras dan ada orang lain yang mendengarkan.
d)   Ketika bergantian bisa dibaca oleh yang pertama saja, bisa juga masing-masing membaca.
Sedangkan Basmalah: Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang mempunyai adab sebagai berikut:
a)    Dibaca ketika memulai tilawah dari awal surat kecuali surat At-Taubah.
b)   Ketika tilawah dimulai ketika tilawah dimulai dari tengah Basmalah boleh dibaca boleh tidak.[11]


3.    Pengertian Pondok Pesantren
Secara Etimologiistilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berarti penginapan.Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.
Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.[12]
Sedangkan menurut perananannya Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejelan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial).Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian masyarakat (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya.[13]
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam.Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa.[14]
Istilah Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu.Disamping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau. Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian pesantren artinya tempat para santri.Selain itu, asal kata pesantren terkadang dianggap gabungan dari kata santri (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong) sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Pondok merupakan tempat penampungan sederhana bagi pelajar yang jauh dari asalnya. Merupakan tempat tinggal Kiai bersama santrinya dan bekerjasama untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Pondok bukanlah semata-mata dimaksudkan sebagai tempat tinggal atau asrama santri untuk mengikuti pelajaran yang diberikan oleh kiai, melainkan juga sebagai tempat latihan bagi santri untuk hidup mandiri.[15]
Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah sekolah Islam berasrama yang terdapat di Indonesia. Pendidikan di dalam pesantren bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa-bahasa Arab. Para pelajar pesantren (disebut sebagai santri) belajar di sekolah ini, sekaligus tinggal pada asrama yang disediakan oleh pesantren. Institusi sejenis juga terdapat di negara-negara lainnya, di Malaysia dan Thailand Selatan yang disebut sekolah pondok, serta di India dan Pakistan yang disebut madrasah Islamia.[16]
Pondok Pesantren dalam penyelenggaraan pendidikannya berbentuk asrama yang merupakan komunitas khusus di bawah pimpinan kyai dan dibantu oleh ustadz yang berdomisili bersama-sama santri dengan masjid sebagai pusat aktivitas belajar mengajar, serta pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri dan kehidupan bersifat kreatif, seperti satu keluarga.[17]
Adastatemen yang sinonim dengan pesantren, antara lain: pondok, surau, dayah dan lainnya. Tepatnya istilah Surau terdapat di Minangkabau, Penyantren di Madura, Pondok di Jawa Barat dan Rangkang di Aceh.[18] Ziemek mengatakan, kata pondok berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok merupakan tempat penampungan sederhana bagi pelajar yang jauh tempat tinggalnya, sedangkan kata pesantrenberasal dari kata santri. Atau gabungan dari suku kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan  manusia baik-baik.[19] Pondok pesantren merupakan satu bentuk pendidikan  keislaman yang melembaga di Indonesia. Kata pondok (kamar, gubug, rumah kecil) dipakai dalam bahasa Indonesia dengan menekankan pada kesederhanaan bangunan.[20]
Dalam perkembangannya, menampakkan keberadaan sebagai lembaga pendidikan  Islam yang mumpuni, di dalamnya didirikan sekolah, baik secara formal maupun nonformal, bahkan sekarang pesantren mempunyai trend baru dalam rangka memperbaharui sistem yang selama ini digunakan yaitu :
c.    Mulai akrab dengan metodologi kegiatan modern.
d.   Semakin berorientasi pada pendidikan fungsional, artinya terbuka    atas perkembangan di luar dirinya.
e.    Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan        ketergantungannyapun absolut dengan kyai sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama, maupun ketrampilan yang diperlukan di lapangan kerja.
f.     Dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.[21]

Imam Bawani mengungkapkan, “Pondok (asrama) merupakan bukti tradisional suatu pesantren. Maka suatu pesantren dikatakan lembaga pendidikan Islam tradisional jika memiliki pondok atau asrama santri yang berstatus mukim. Kecenderungan untuk  berkelana dalam menuntut ilmu dan menetap di sebuah tempat dimana seorang guru berada, merupakan tradisi yang menyatu dengan ulama masa lalu.[22] Pengertian-pengertian di atas sudah representatif tetapi konvensional, apalagi tahun 1996-an semarak dengan pesantren-pesantren kilat. Fenomena ini apabila dikomparasikan dengan muatan definisi di atas kurang valid. Sebab terdapat instrumen-instrumen yang dalam definisi tersebut tidak terpenuhi. Jadi definisi yang bisa mewakilkan untuk  terminologi pesantren dalam konotasi konvensional dan kontemporer adalah suatu komunitas ulama/kyai, guru, serta santri atau murid, dalam lingkungannya yang berupa  pesantren atau asrama, masjid, atau gedung-gedung, sebagai tempat pendidikan  yang mengajarkan dan mengajarkan ajaran Islam. Sifat organisasi ini bila permanen (dalam waktu relatif lama) atau insidental (sebentar) seperti pesantren kilat, kehidupannya bersifat kolektif (menyatu seperti keluarga), integritas pesantren dapat independen dan bisa dependen serta menyatu dengan kehidupan sosial masyarakatnya.[23]
Dari pengertian di atas, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan  Agama Islam, dengan sistem asrama yang di dalamnya berisikan sekurang-kurangnya tiga unsur pokok yaitu: kyai, sebagai pengasuh sekaligus pengajar, santri yang belajar dan masjid sebagai tempat beribadah dan sentral kegiatan. Solidaritas dalam pesanten sangat begitu menonjol dimasyarakat karena dampak positifnya dapat dirasakan oleh masyarakat sekitarnya.
a.    Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia
Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai. Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal kemana-mana.[24] Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudain dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel salah seorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.[25]
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam.Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam.Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akanmengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah.
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia.Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas.Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak.
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia.[26]
b.    Unsur-unsur Sebuah Pesantren
Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat.Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pedi depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Menurut Wahid, “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.” Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa. Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis.Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai, masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
1)   Kyai
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren. Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu:
a)    sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta;
b)   gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya;
c)    gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.
2)   Masjid
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.” (Dhofier 1985:49) Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.
3)   Santri
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren.
4)   Pondok
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu.Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki. Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan. Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok. Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan.[27]
5)   Kitab-Kitab Islam Klasik:
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning. Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan. Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk:
a)    nahwu dan saraf (morfologi);
b)   fiqh;
c)    usul fiqh;
d)   hadits;
e)    tafsir;
f)    tauhid;
g)   tasawwuf dan etika;
h)   cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.

Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama.[28]
4.    Pengertian Kefasihan
fa·sih a lancar, bersih, dan baik lafalnya (tt berbahasa, bercakap-cakap, mengaji, dsb
-- lidah pandai berkata-kata; petah lidah;
mem·fa·sih·kan v melatih supaya fasih;
mem·per·fa·sih v membuat (mengusahakan) supaya lebih fasih;
ke·fa·sih·an n perihal fasih (dl berbahasa, berbicara, dsb[29]
Dan definisi kepasihan menurut thesaurus:
fasih 1) a bacar, bijak, calak, cepat, galir, lancar, lincir, lincir lidah, pantas, petah, petah lidah, petes; memahami, menguasai ant gagap;
kefasihan n kecalakan, kelancaran, kemahiran, kepetahlidahan
Dan juga definisi kepasihan menurut kamus seasite
fasih : : : lancar; tidak tersendat-sendat.

Sedangkan menurut kamus globlal kepasihan berarti:
a.    pandai/fasih bicara.
b.    penuh perasaan.
c.    yang mengesankan.[30]
Dengan demikian fasih mengandung arti lancar, bersih, dan baik lafalnya dalam berbicara maupun dalam membaca, sedangkan kepasihan merupakan perihal dari fasih atau dapat di gambarkan seperti di bawah ini:

Atau                                                                                                              [31]



5.    Pengertian Membaca
Membaca adalah sebuah keharusan bila kita ingin menguasai dunia. Dengan membaca, pandangan kita menjadi lebih terbuka terhadap hal-hal baru yang tidak kita ketahui sebelumnya. Bila sebelumnya membaca identik dengan buku, maka di jaman yang serba digital ini membaca tidak hanya terpaku pada membaca buku karena segala informasi terkini telah tersedia di dunia maya.[32]
Membaca adalah kegiatan merespon lambang-lambang cetak atau lambang-lambang tulis dengan pengertian yang tepat (Harjasujana & Maryati). Membaca adalah suatu kegiatan berbaha untuk memahami lambang-lambang bunyi bahasa yang tertulis baik bersuaar ataupun tidak dalam memahami informasi- informasi yang disajikan (Herususanto). Membaca adalah proses psikologis, proses sensorik, proses perseptual, dan proses perkembangan (Harras dan Sulistianingsih).[33]
a.    Tujuan Membaca
1)   mendapatkan informasi faktual.
2)   memperoleh keterangan tentang sesuatu yang khusus.
3)   memberikan penilaian tentang karya sastra.
4)   memperoleh kenikmatan emosi.
5)   mengisi waktu luang (Nurhadi).
b.    Jenis Membaca
1)   Membaca Nyaring
Membaca nyaring adalah proses melisankan sebuah tulisan dengan memperhatikan suara, intonasi, dan tekanan secara tepat, yang diikuti oleh pemahaman makna bacaan oleh pembaca (Kamidjan).
Ketrampilan dalam membaca nyaring:
a)    Penggunaan ucapan yang tepat.
b)   Pemenggalan frase yang tepat.
c)    Penggunaan intonasi, nada, dan tekanan yang tepat.
d)   Penggunaan tanda baca dengan baik.
e)    Penggunaan suara yang jelas.
f)    Penggunaan ekspresi yang tepat.
g)   Pengaturan kecepatan membaca.
h)   Pengaturan ketepatan pernapasan.
i)     Pemahaman bacaan.
j)     Pemilikan rasa percaya diri.
2)   Membaca Dalam Hati (Membaca Ekstensif dan Membaca Intensif)
a)    Membaca Ekstensif
Membaca ekstensif adalah proses membaca yang dilakukan dalam waktu yang singkat dan dengan bahan bacaan yang beranekaragam. Tujuan Membaca Ekstensif Memahami isi yang penting dalam buku. Menurut Brougton ada 3 macam membaca :
-       Membaca Survey
Kegiatam membaca yang bertujuan untuk mengetahui gambaran umum isi dan ruang lingkup bahan bacaan, membaca survei merupakan kegiatan membaca misalnya melihat judul, pengarang, daftar isi dll.
-       Membaca sekilas
Kegiatan membaca yang menyebabkan mata kita bergerak cepat melihat dan memperhatikan bahan tertulis untuk mencari dan mendapatkan informasi secara cepat (skimming).
-       Membaca dangkal
Kegiatan membaca untuk memperoleh pemahaman yang dangkal dari bahan bacaan yang kita baca.Bahan bacaannya merupakan bahan bacaan yang ringan karena tujuannya untuk mencari kesenangan.
b)   Membaca Intensif
Membaca Intensif adalah Kegiatan membaca yang dilaksanakan secara seksama dan merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkandan mengasah kemampuan membaca secara kritis.[34]
6.    Pengertian Al-Qur’an
Arti kata Qur’an dan apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an menurut bahasa yang berarti “bacaan”. Di dalam Al-Qur’an sendiri ada pemakaian kata “Qur’an” dalam arti demikian sebagai tersebut dalam ayat 17-18 surat Al-Qiyaamah yang berbunyi:
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ۝ #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ۝
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.[35]

Kemudian dipakai kata Qur’an itu untuk Al-Qur’an yang dikenal sekarang ini. Adapun definisi Al-Qur’an ialah: “kalam Allah s.w.t yang merupakan mu’jizat yang diturunkan/diwahyukan kepada Nabi Muhamad SAW dan membacanya adalah ibadat.[36] Al-Qur`an adalah kalamullah, firman ALLAH Swt, ia bukanlah kata-kata manusia, bukan pula kata-kata jin, setan, atau malaikat. Al-Qur`an bukan berasal dari pikiran makhluk, bukan syair, bukan sihir, bukan pula produk kontemplasi atau hasil pemikiran filsafat manusia. Hal ini ditegaskan olah ALLAH Swt dalam Al-Qur`an Surah An-Najm ayat 3-4: "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)"[37]
Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: القرآن) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5. Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut: “Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"[38]

Dan menurut Syekh Muhammad Khudri Beik, Al-Qur`an ialah firman ALLAH Swt yang berbahasa Arab, diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk dipahami isinya, disampaikan kepada kita secara mutawatir, ditulis dalam mushaf dimulai dengan Surah Al-Fatihah dan diakhiri Surah An-Nas.
Juga menurut Syekh Muhammad Abduh, Al-Kitab atau Al-Qur`an ialah bacaan yang telah tertulis dalam mushaf yang terjaga dalam hafalan-hafalan umat Islam. Sedangkan menurut Muhammad Abdul Azim az-Zarqani, Al-Qur`an adalah kitab yang menjadi mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, ditulis dalam mushaf dan disampaikan secara mutawatir.[39]
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
7.    Mata Pelajaran Baca Tulis Qur’an di Madrasah Diniyah
Perkembangan dunia pendidikan saat ini sangat pesat sekali, tidak sedikit sekolah yang sudah menggunakan fasilitas teknologi dalam pembelajaran demi untuk peningkatan mutu siswa. Namun tidak sedikit pula sekolah yang perhatian terhadap pembelajaran pendidikan agama Islam khususnya pada bidang Baca Tulis Al-Qur’an. Dalam kenyataannya, banyak sekali siswa-siswa SMP, MTs, SMA, bahkan mahasiswa tidak mampu Baca Tulis Al-Qur’an. Sementara Baca Tulis Al-Qur’an merupakan bagian yang sangat mendasar untuk memahami Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai sumber ajaran agama Islam. Sebab pendidikan agama Islam sangat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku, kemampuan sumber daya manusia seseorang, sehingga bermanfaat dan memberikan kemaslahatan bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya, menuju manusia yang berakhlaq mulia dalam kehidupan sosial sehari-hari.[40]




B.  Kerangka Berfikir
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisi yang telah ada di indonesia setelah sekolah-sekolah pola barat maju. Karakteristik suatu pesantren ditandai dengan adanya pondok (asrama), mesjid, pengajaran dengan kitab-kitab Islam klasik, santri dan kyai. Pengaruh kyai bukan hanya dominan dalam kalangan pesantren tetapi juga kepada warga desa kawasan daerah disekitarnya. Tujuan pendidikan pesantren bukan untuk mengajar kepentingan kekuasaan, harta dan keagungan duniawi saja, namun semata-mata merupakan kewajiban dan pengabdian kepada Allah SWT, perkembangan suatu pesantren sepenuhnya terletak pada kemampuan dan wawasan kiyainya. Kiyai merupakan faktor dominan dari sebuah pesantren, upaya para kiyai yang paling utama dalam melestarikan tradisi pesantren ialah membangun solidaritas dan kerjasama secara internal dan eksternal. Kaitannya dengan pesantren yang dominan dikenal oleh masyarakat luas yaitu mengenai pembacaan Al-Qur’an yang fasih, dengan kata lain yaitu pendidikan ilmu tajwid yang mendalam.
Sementara ilmu merupakan semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan syarat-syarat tertentu. Sedangkan tajwid adalah membaguskan bacaan Al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu tajwid yang berlaku atau mempelajari cara mengucapkan huruf-huruf Al-Qur’an tentang tebal dan tipisnya, panjang dan pendeknya, sifat-sifatnya, dan hukum membaca Al-Qur’an.
Mempelajari tajwid sebagai suatu ilmu pengetahuan hukumnya Fardhu Kifayah, tetapi mengamalkan tajwid ketika membaca Al-Qur’an adalah fardhu 'ain atau wajib kepada lelaki dan perempuan yang mukallaf atau dewasa. Oleh karena itu, pondok pesantren sangat mempunyai peran yang sangat penting dalam mendidik para santrinya supaya fasih dalam membaca Al-Qur’an. Sementara itu, pelajaran Baca Tulis Qur’an yang mengisi KBM di MD Takmiliyah Wadowetan sangat erat kaitannya dengan pengajaran tajwid di pondok pesantren. Ilmu tajwid yang diajarkan para kiyai dipesantren pada santrinya, yang sebagian merupakan siswa MD Takmiliyah Wadowetan dalam hal membaca Al-Qur’an-nya pada pelajaran Baca Tulis Qur’an sekilas dapat dibedakan kepasihan membacanya dengan siswa yang tidak menunutut ilmu di pesantren.
Mengingat pentingnya pengajaran ilmu tajwid  di pondok pesantren terhadap kepasihan siswa dalam membaca Al-Qur’an pada mata pelajaran Baca Tulis Qur’an, penulis skematikan dalam bentuk kerangka sebagai  berikut:
Sistem pengajara ilmu tajwid
di pondok pesantren
Al-Hidayah
-       Materi pembelajaran
-       Metode pembelajaran
-       Memilih alat dan sumber
-       Memilih waktu yang efektif
Pelaksanaan pendidikan BTQ  di MD Takmiliah Wadowetan
-          Materi pembelajaran
-          Metode pembelajaran
-          Memilih alat dan sumber
-          Memilih waktu
Kepasihan siswa dalam membaca Al-Qur’an
 










C.  Hipotesis
Hipotesis adalah asumsi atau dugaan sementara mengenai suatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal itu yang sering dituntut untuk melakukan pengecekan.[41]
Maka hipotesis yang dapat digambarkan dalam penelitian ini adalah:
1.    adanya penerapan sistem pengajaran ilmu tajwid di pondok pesantren Al-Hidayah Desa Wadowetan Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka;
2.    siswa fasih dalam membaca Al-Qur’an pada mata ajar Baca Tulis Al-Qur’an (BTQ)  di Madrasah Diniah Takmiliah Desa Wadowetan Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka;
3.    terdapat pengaruh penerapan sistem pengajaran ilmu tajwid di pondok pesantren Al-Hidayah terhadap kepasihan siswa dalam membaca Al-Qur’an  pada mata ajar Baca Tulis Al-Qur’an (BTQ)  di Madrasah Diniah Takmiliah Desa Wadowetan Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka.




[9]Depag RI, (Al-Qur’an  dan Terjemahannya), Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984, h: 988.
[10] …………….
[11] ………………..
[12]H Rohadi Abdul Fatah, M Tata Taufik, Abdul Mukti Bisri, (Rekontruksi Pesantren Masa Depan), Jakarta Utara: PT. Listafariska Putra, 2005, h: 11
[13]Mastuki HS, El-sha, M. Ishom, (Intelektualisme Pesantren), Jakarta: Diva Pustaka, 2006, h:1.
[14]H.Amin Haedari, (Transformasi Pesantren), Jakarta: Media Nusantara, 2007, h: 3.
[17]Mastuhu, (Dinamika Sistem Pendidikan  Pesantren), Jakarta: INIS, 1994, h: 6.
[18]Martin Van Bruinessen, (Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat), Bandung: Mizan, 1995, h: 17.
[19]Zamakhsyari Dhofier, (Op. Cit), h: 18.
[20]Soedjoko Prasodjo, (Profil Pesantren),LP3ES, Jakarta, 1974,  h . 11
[21]Hasbullah , (Kapita Selekta Pendidikan Islam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999, h: 58.
[22]Imam Bawani, (Pesantren Tradisional),Surabaya: Al-Ikhlas,1983, h: 129.
[24]Rochidin Wahab, (Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia), Bandung: CV. Alfabeta, 2004,  h: 153,154.
[25]Irfan Hielmy, (Wancana Islam), ciamis: Pusat Informasi Pesantren, 2000, h: 120.
[26]Mayra Walsh, (Pondok Pesantren Dan Ajaran Golongan Islam Ekstrim Studi Kasus Di Pondok Pesantren Modern Putri‘Darur Ridwan’ Parangharjo, Banyuwangi), Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, h: 12.
[27]Mayra Walsh, (Pondok Pesantren Dan Ajaran Golongan Islam Ekstrim Studi Kasus Di Pondok Pesantren Modern Putri ‘Darur Ridwan’ Parangharjo, Banyuwangi), Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Muhammadiyah Malang, 2002,  h: 10,11.
[28]Mayra Walsh, (Pondok Pesantren Dan Ajaran Golongan Islam Ekstrim Studi Kasus Di Pondok Pesantren Modern Putri ‘Darur Ridwan’ Parangharjo, Banyuwangi), Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, h: 11,12.
[29]Depdikbud, (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Jakarta: Balai Pustaka, 1989, h: .......
[35]Depag RI, (Al-Qur’an  dan Terjemahannya), Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984, h: 999.
[36]Depag RI, (Al-Qur’an  dan Terjemahannya), Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984, h: 16.
[41]Nana Sudjana, (Metode Statistik), Bandung: Tarsito, 1996, h: 219.
Previous
Next Post »